Berita

PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

PENETAPAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

Dalam perbincangan tentang penetapan Mahkamah Agung RI yang melarang hakim pengadilan untuk mengabulkan permohonan perkawinan beda agama. Mahkamah Agung yang melarang hakim pengadilan untuk mengabulkan pencabutan penetapan perkawinan beda agama tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. 

Masalah ini kembali kepada peraturan perundang-undangan yang melampaui terkait perkawinan beda agama. Sebagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dalam Islam menikah beda agama hukumnya haram. Jika pernikahan tersebut tetap dilaksanakan, maka hukumnya akan tidak sah seolah-olah pernikahan itu tidak pernah terjadi. Secara hukum syariah, perbuatan itu tergolong dalam perbuatan zina. Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 disebutkan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" dan pada Pasal 44 KHI terdapat larangan menikah beda agama.


SEMA Nomor 2 Tahun 2023 diterbitkan setelah ada desakan dari kalangan yang menyoroti sering dikabulkannya permohonan penetapan kawin beda agama oleh Pengadilan Negeri. Penetapan hakim pengadilan itu dianggap mereduksi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, meskipun pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara menggunakan dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.


Dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dijelaskan bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan berikut:
a. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
b. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.


Petunjuk bagi hakim yang mengadili permohonan penetapan pencatatan perkawinan beda agama ini cukup memberikan jawaban kepada masyarakat atas banyaknya pertanyaan terkait kenaapa permohonan penetapan perkawinan beda agama dan kepercayaan yang diajukan ke pengadilan seringkali dikabulkan? Padahal sebelumnya permohonan perkawinan yang diajukan masyarakat ditolak oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Pencatatan Sipil.
Penetapan permohonan pencatatan kawin beda agama oleh hakim pengadilan dinilai masyarakat bukan menjadi terobosan atau solusi atas kebuntuan hukum, akan tetapi menjadi preseden buruk bagi aturan hukum perkawinan di Indonesia.
Keberadaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran yang memberi ruang dua orang yang menikah tidak tercatat dapat menyatukan diri dalam satu Kartu Keluarga dan di KTP-nya tertulis berstatus ‘kawin’ dengan hanya bermodal Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Namun, banyak masyarakat yang beranggapan dengan adanya UU Administrasi Kependudukan, urgensitas buku nikah sudah tidak penting lagi, karena segala layanan kependudukan tetap dapat dinikmati meskipun tidak memiliki Buku Nikah.

Sumber:
1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. UU Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
3. Penetapan SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.